BERITA DAN INFORMASI |
Raih Profesor, Konsen TB Paru
Rabu, 09 Juni 2010 | [12781 Dibaca]
Universitas Sriwijaya tambah satu guru besar lagi, Prof Dr dr R M Suryadi Tjekyan DTM & H MPH. Penelitian putra pertama mantan wali kota Palembang, RHA Arifai Tjekyan (Alm) ini, fokus pada penanggulangan masalah Tuberkulosis (Tb) Paru.di usianya yang ke-61 tahun pada 17 Juni mendatang, dr Suryadi demikian dia biasa disapa--- mencapai puncak kariernya dalam dunia pendidikan. Jumat (11/6) nanti, ia dikukuhkan dan resmi menyandang gelar profesor. Pengukungan langsung oleh Rektor Unsri, Prof Badia Perizade di Gedung Serbaguna Pascasarjana Unsri, Jl Padang Selasa, Palembang. "Rasanya biasa saja. Memang sudah waktunya meraih gelar ini (Profesor)," kata dr Suryadi dengan gaya bicaranya yang khas lembut dan apa adanya. Hanya, kata Suryadi, suami dari Dr RA Atikah SpA dan ayah dari Dr RM Indra SpA, Dr RA Emil Arief, Dr RA Myrna Alia, dan Dr RM Irsan itu, kalau ia ingin cepat dikukuhkan bisa. Sebab, sebelum Desember 2006, professor dapat diberikan kepada mereka yang S-2 dengan predikat konsultan. Nah, mulai dari 2007 hingga sekarang syarat itu dihapus. Makanya, ia menyelesaikan dulu program doktornya, baru disebut professor. "Saya fokus pada bidang epidemiologi TB paru," tukasnya. TB paru sendiri adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis. Penularannya melalui udara. "Indonesia menempati urutan ketiga jumlah kasus TB terbanyak di dunia." Dalam pidato guru besar dengan judul "Model jejaring penanggulangan tuberculosis paru tingkat kelurahan dan desa sebagai model akselerasi deteksi kasus baru TB Paru strategi direct observasi short course treatment" nanti, Suryadi melihat ada tiga permasalahan dalam penanganan penyakit Tuberkulosis ini. Di antaranya, penemuan kasus selama ini masih rendah. Kemudian, kekebalan kuman ganda cenderung meningkat. Terakhir, kekebalan kuman ekstensif ganda sudah mulai ada dan 7,5 persennya akibat kekebalan ganda. "Berangkat dari itu, saya kembangkan model jejaring ini. Intinya, bagaimana sebanyak-banyaknya menjaring pasien TB dengan melibatkan kader." Apalagi, tambah dia, WHO cukup men-support lewat strategi DOTS (diminum obat teratur sembuh). Tinggal lagi, dukungan pemerintah, jaminan ketersediaan obat anti tuberculosis dan sistem pencatatan dan pelaporan serta hasil pengobatan pasien. Sebetulnya, penanganan tuberculosis ini sederhana. Sebelum pengobatan, kader TB menjelaskan kalau program DOTS harus disiplin. Jika tidak, penyakit bisa kebal dan resisten hingga berujung pada kematian. Soal tingkat kegagalan program DOTS tersebut dari tahun 2000 hingga 2009 berkisar 0,62-1,25 persen. "Yang gagal ini biasanya kronis dan merupakan sumber penularan yang terus menerus." Oleh karenanya, kata Suryadi, ia mengembangkan model jejaring TB hingga tingkat kecamatan dengan camat sebagai pimpinan jaringan. Lalu, mengadakan pelatihan kader TB tingkat rukun tetangga. Pelatihan pada dokter praktik swasta (DPS) yang terpilih sebagai DPS kelurahan dengan materi pelatihan berupa pelaksanaan jaringan, manajemen kasus TB Paru dan serta pemakaian obat. Ada lagi, penetapan fasilitas satu laboratorium swasta sebagai tempat pemeriksaan. "Tentu saja harus ada perekrutan kader TB yang dalam hal ini diambil dari setiap rukun tetangga atau desa. Termasuk, DPS-nya." Suryadi optimis jika model jejaring ini diterapkan, maka kasus TB yang terjaring bisa lebih banyak lagi. "Saya bakal tawarkan program ini ke Gubernur Sumsel. Apalagi, dia konsen dengan pengobatan gratis. Saya yakin tingkat prevalensi TB dapat turun lebih dari 50 persen." |