BERITA DAN INFORMASI |
Ditawari Jadi Staf Ahli
Sabtu, 19 Desember 2009 | [12266 Dibaca]
Tidak banyak yang mau menekuni ilmu fission track (jejak fisi/belah). Di Indonesia, hanya satu profesor di bidang ini. Ia adalah Prof Dr Ir Edy Sutriyono MSc, guru besar Fakultas Teknik (FT) Pertambangan Unsri yang baru dikukuhkan beberapa hari lalu. Bagaimana kiprahnya? Pembawaannya santai namun penuh wibawa. Jauh dari bayangan ruwetnya ilmu yang ditekuni Edy Sutriyono, kakek dua cucu itu. Jika Anda berbincang dengannya dipastikan bisa releks dan pembicaraan demikian mengalir. Kini, Edy yang empat hari lalu dikukuhkan sebutan guru besarnya, bersiap-siap menunaikan tugas baru. Ia menjadi staf ahli pada laboratorium fission track di Badan Geologi Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di Bandung. "Kalau tak ada aral melintang, insya Allah pekan depan saya berangkat ke Bandung untuk menjajaki tawaran mereka itu. Baru di sana ada lab fission track. Sedangkan, saat ini saya satu-satunya profesor bidang itu. Tawaran yang menarik sekaligus saya mencoba mensinergikannya dengan potensi di sini (Sumsel)," ungkap Edy ketika diwawancarai di gedung kuliah FT Pertambangan Ekstension, kampus Unsri Bukit Besar. Diketahui, Prof Edy masih aktif sebagai staf pengajar di FT Pertambangan Unsri. Ia menyampaikan pidato ilmiah saat pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul "Aplikasi Geokronologi Jejak Fisi/Belah untuk Paleogeothermal Gradient". Hampir sebagian kariernya dihabiskan untuk meneliti soal jejak belah. Tepatnya, ia mulai tahun 1990, saat ia mengambil tesis strata dua (S-2) di Wykato University, Hamilton, New Zealand. Tak hanya itu, saat mengambil tesis disertasi program doktoral di La Trobe University, Melbourne, Australia ia kembali meneliti jejak belah. "Penelitiannya di pelbagai daerah di Indonesia. Ya, sekitar tahun 1999." Penelitian ia awali dari cekungan di Selat Sunda. Kemudian, Cekungan Bintuni Papua Barat, jalur Pegunungan Lengguna Papua Barat hingga penelitian pada blok Pegunungan Utara Papua. "Saat mengambil kuliah S-3, saya adalah satu dari dua mahasiswa program doktoral La Tobe University yang dilibatkan pada salah satu proyek penelitian tentang jejak belah," beber Edy yang mengaku kalau pendidikan S-2 dan S-3-nya merupakan beasiswa dari negara New Zealand dan Ausralia. Khusus untuk penelitian S-3 yang hasilnya menjadi hak mutlak dari La Trobe University, biayanya berasal dari bantuan 10 perusahaan. Semua berkaitan dengan usaha penambangan dari Indonesia dan luar negeri. "Besar bantuannya Rp150 juta dari masing-masing perusahaan. Termasuk, belakangan Pertamina juga beli," tukas guru besar kelahiran Demak, Jawa Tengah pada 26 Desember 1958 lalu. Dibandingkan dengan negara-negara maju, di Indonesia sampai saat ini penggunaan metode jejak belah pada dunia pertambangan belum sesuai dengan harapan. Kendalanya, ketiadaan dana sekaligus tenaga expert. Sekilas, Edy memaparkan pengertian jejak belah. Katanya, ini sebuah metode penentuan umur batuan secara mutlak dan mengacu pada perhitungan jejak-jejak yang terjadi akibat peluruhan uranium (238U) oleh sinar alpha. "Jenis bebatuan yang bisa diuji dengan metode jejak belah biasanya mengandung mineral zirkon atau apatit. Umumnya batuan beku asam sampai intermedier seperti granit, granodiorit, diorit, riolit, dasit, andesit dan tuf primer yang bersifat asam," paparnya lagi. Soal langkah yang bakal dilakukannya setelah dikukuhkan menjadi guru besar, suami dari Emmy Prihartini ini mengaku terlebih dulu bakal mensinergikan hasil penelitiannya dengan Universitas Sriwijaya dan pemerintah daerah. "Saya juga bertekad untuk lebih mengembangkan SDM-nya, baik melalui jalur pelatihan, workshop dan cara lain. Ini agar lebih mengenalkan teknik geokronologi jejak belah. Termasuk rencana untuk mendirikan Program Studi Geologi di Unsri," pungkasnya. |