ARTIKEL |
LINDUNGI KARYA CIPTA ANAK BANGSA
Sabtu, 25 April 2015 | [557944 Dibaca]
Banyaknya kasus Plagiasi yang dilakukan oleh insan akademik sebuah Perguruan Tinggi di Indonesia, membuat Kementrian RISTEK-DIKTI menggagas sebuah Forum Group Discussion pada acara Seminar Nasional Pencegahan dan Penanganan Plagiasi (16/4) di Jakarta. Ide tersebut muncul diprakarsai oleh Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Acara seminar tersebut dihadiri oleh wakil Perguruan Tinggi seluruh Indonesia, Kejaksaan dan Kepolisian. Acara seminar dibuka oleh Mentri Ristek-Dikti Mohamad Nasir didampingi oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Supriadi Rustad dan tiga orang nara sumber Jimly Asshiddiqie, Widyo Pramono dan Adi Sulistiyono. Mentri Ristek-Dikti Mohamad Nasir, banyak bercerita tentang kecurangan dan plagiasi yang terjadi di Perguruan Tinggi dalam pengurusan pangkat Guru Besar dan Lektor Kepala yang menjurus kepada tindakan pidana. Pada kesempatan itu pula dimunculkan mengenai akan dibentuknya sebuah “Mahkamah Kehormatan Etika Dosen Indonesia” dan ada yang lebih spesifik lagi menyebutnya sebagai “Mahkamah Etika Ilmuwan Indonesia”. Hal tersebut sesungguhnya telah diangkat dalam sidang umum PBB tahun 1996, bahwa agar semua Negara anggota membangun apa yang dinamakan “ Ethics Infra Structure in Public Offices” , yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik. Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Supriadi Rustad menyatakan secara teknis penanggulangan plagiasi pada pengurusan kenaikan jabatan/pangkat telah ditingkatkan dengan penggunaan penilaian berbasis sistem dalam jaringan, namun jika masih muncul plagiasi, maka ranah hukum yang harus diperkuat. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono yang saat itu menjadi nara sumber menyatakan dapatkah tindak pidana berupa plagiarisme yang termasuk dalam ranah hukum hak cipta itu pelakunya dilakukan penyelidikan dalam tindak pidana korupsi ???......Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, Etika itu adalah ilmu yang mempelajari suatu nilai dan kualitas mengenai standar penilaian moral dan sudah saatnya membangun Infrastruktur Etik Iilmuwan di Indonesia. Sedangkan Adi Sulistiyono menyatakan gagasan penegakan etika akademik melalui peradilan etik akademik di perguruan tinggi. Perkembangan keadaan yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi setiap harinya kian berubah, bertambah dan berkembang dengan pesat, termasuk informasi. Pemanfaatan kemajuan pengetahuan tersebut apabila tidak diimbangi dengan mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang berintegritas, jujur, bertanggung jawab, dan adil, serta sikap menghindari perbuatan yang tidak terpuji akan menyebabkan terjadinya sebuah pelanggaran etika. Sebagai seorang dosen yang sangat dekat hubungannya dengan sebuah karya ilmiah, publikasi, dan hak cipta, kita dituntut untuk memiliki seperangkat etika atau pedoman etis yang telah disepakati secara umum dalam mengusulkan, melaksanakan, melaporkan dan mempublikasikan hasil penelitian. Definisi dan tujuan plagiat telah dituangkan pula secara resmi dalam Permendiknas No 17 Tahun 2010 yaitu Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kerdit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah fihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Khususnya di Perguruan Tinggi dampak terjadinya plagiasi dapat merusak tatanan kehidupan keilmuawan, hal tersebut terjadi karena merosotnya nilai-nilai etika dan moral yang tidak selaras dengan kehidupan kampus yang saling menghargai dan menghormati. Apabila kita melihat hasil FGD yang telah terbentuk di atas sudah saatnya kita mendukung rencana Pemerintah tersebut dan ikut berperan aktif menjadi SDM yang taat akan etika hukum dan menghindari ketidakjujuran akademik. Apapun nama yang akan ada nantinya konsistensi dan keberlanjutanlah yang sangat diharapkan oleh kita sebagai Ilmuwan Indonesia. (SN) |