ARTIKEL |
Rekonsiliasi Setelah Memilih
Sabtu, 12 Juni 2010 | [174719 Dibaca]
Prof. Amzulian Rifai, Ph.D Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selesai sudah. Pada 5 Juni 2010 warga lima kabupaten di Sumatera Selatan (OKU Induk, OKUS, OKUT, Musi Rawas dan Ogan Ilir) telah menentukan pilihannya. Berlalu sudah hiruk pikuk perseteruan dalam berbagai bentuknya. Mestinya tidak menyisakan dendam. Tidak ada amarah berlebihan terhadap hasil final. Sungguhpun bagi sebagian tidak mudah menerima realita yang ada. Bahkan untuk Ogan Ilir dan OKU Induk rentan sengketa karena tipisnya perbedaan perolehan suara. Namun rekonsiliasi tetap harus ada. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan rekonsiliasi sebagai perbuatan memulihkan pada keadaan semula, perbuatan memperbaharui seperti semula. Secara sederhana dapat diartikan bahwa ada keadaan yang berubah dari keadaan semula sebagai akibat suatu kejadian tertentu. Ada kondisi yang berubah akibat pelaksanaan Pilkada. Mungkin, dalam beberapa hal perubahan itu terjadi secara ekstrim. Umumnya, tidak mudah bagi seseorang untuk memutuskan maju sebagai calon kepala daerah. Tidak semua sosok memiliki nyali mendeklarasikan diri sebagai seorang kandidat kepala daerah. Ada banyak faktor yang menjadi alasan mengapa perlu ada pertimbangan matang sebelum terjun ke arena pemilihan. Tentu saja tingkat elektibitas mestinya dijadikan alasan pertama. Di era sekarang ini, cara-cara ilmiah lebih sering digunakan untuk mengukur tingkat elektibitas itu. Itu sebabnya beberapa lembaga survei dimanfaatkan untuk mengetahui secara lebih akurat tingkat "keterpilihan" seorang kandidat. Cara ini ilmiah dan seringkali mendekati kebenaran. Tingkat akurasinya tinggi. Tetapi yang menjadi soal biaya yang dibutuhkan tidak kecil. Tidak semua partai politik memiliki kemampuan dana untuk mendukung kandidatnya dalam melakukan survei. Diantara kandidat "rela" merogoh kocek sendiri dalam survei ini. Diantara lembaga survei ada juga yang memberikan masukan tentang wilayah-wilayah tertentu yang dianggap lemah. Bahkan sungguhpun saat survei tingkat elektibitas rendah, masih tetap terbuka harapan beberapa tahun atau beberapa bulan kedepan. Kepada sang kandidat kemudian disarakan untuk melakukan berbagai program untuk memperkuat tingkat keterpilihan di wilayah-wilayah yang dianggap lemah tersebut. Upaya-upaya penguatan di wilayah lemah itu bukan hanya memerlukan energi lebih, menguras tenaga tetapi juga biaya yang cukup besar. Pengalaman menunjukkan dalam Pilkada langsung bahwa cara paling efektif bagi kandidat untuk mendapatkan dukungan adalah melalui aktivitas door to door. Artinya kandidat langsung berkunjung kepada calon pemilih. Memang tim sukses tetap perlu dan sangat membantu. Tetapi akan berkurang maknanya apabila kehadiran seorang kandidat hanya diwakilkan kepada tim sukses. Jauh lebih efektif dengan kehadiran kandidat yang menyapa langsung para calon pemilih. Setidaknya ada dua alasan mengapa rekonsiliasi setelah memilih mesti dijadikan tradisi. Alasan pertama dari aspek kandidat. Bukan mustahil diantara para kandidat sebelumnya adalah mereka yang bersahabat satu sama lain. Tidak mustahil diantara mereka adalah sosok yang selama ini berjuang side by side bagi daerahnya. Pertarungan di Pilkada memaksa mereka berada pada kondisi ekstrim: berhadap-hadapan. Bahkan sebagian mempersepsikan terjadi kondisi saling bermusuhan. Amatilah secara lebih mendalam para kandidat yang ada. Diantara mereka adalah yang secara bersama-sama membangun daerah itu. Di kabupaten OKU induk, misalnya, berhadapan antara ketua DPRD dengan kepala daerah yang sedang menjabat. Selama ini tidak ada permasalahan diantara mereka. Ridwan Mukti di Musi Rawas juga berhadapan dengan sosok kokoh seperti M.Isya Sigit yang lama mendampinginya dengan berbagai jabatan hingga sebagai sekretaris Dewan. Demikian juga dengan Senen Singadilaga yang sebelumnya menjabat Sekda. Bahkan diantara kandidat ada yang masih memiliki hubungan persaudaraan seperti di OKU Selatan, misalnya. Sebagian besar para kandidat memiliki hubungan pribdi yang baik. Tidak ada permasalahan. Namun ketika maju sebagai calon kepala daerah, semua kandidat pastilah siap melakukan apa saja demi kemenangan yang hendak dicapai. Pertarungan head to head sulit terhindarkan. Dimulai dengan penentuan pasangan. Pastilah ada diantara kandidat yang mengidam-idamkan berdampingan dengan sosok tertentu. Publik juga menebak-nebak komposisi masing-masing pasangan. Walau terkadang tidak semata-mata atas dasar kalkulasi logika saja. Bahkan bukan langka jika hitungan politik tak sejalan dengan etika. Ketegangan dan gesekan sulit terhindar. Bahkan sudah dimulai pada saat para kandidat secara bersama-sama memeriksakan kesehatan. Begitu juga dalam pelaksanaan debat terbuka. Atas nama demi kemenangan pula gesekan-gesekan semakin nyata pada masa kampanye. Malah ada yang terlibat black campaign. Kondisi panas itu semakin menjadi ketika dihadapkan pada berbagai bisikan dari orang-orang sekitar kandidat. Boleh jadi diantara bisikan itu bertujuan baik. Namun terkadang justru kontra produktif dan menciptakan ketegangan baru. Para tim sukses dalam berbagai jelmaannya juga menghadapi gesekan yang juga kompleks. Sebagaimana dalam pertandingan sepakbola, para penonton seringkali lebih "genit" dan lebih gaduh ketimbang para pemain. Terkadang diantara supporter saling serang pada saat pemain dalam kondisi normal-normal saja. Dalam arena Pilkada jangan heran jika ada diantara tim sukses yang justru lebih "was-was" ketimbang kandidatnya. Tim sukses panas dingin, takut jagoannya kalah. Padahal kandidat justru merasa aman-aman saja. Rekonsiliasi harus terjadi baik sesama kandidat maupun diantara tim sukses. Para kandidat adalah putra/putri terbaik didaerah itu. Semuanya mungkin pantas menjadi kepala daerah. Tetapi rakyat telah menentukan pilihannya. Dalam satu periode hanya satu orang saja yang dapat menjadi kepala daerah. Kandidat yang menang tidak boleh "mensoraki" yang kalah. Sebaliknya calon yang kalah tidak larut dalam kekalahan seakan suatu kondisi the end of the world. Mungkin "uji nyali itu" dapat dilakukan pada Pilkada kedepan. Dalam suatu pesta besar seperti Pilkada, pasti banyak pihak yang turut serta dan berjasa memenangkan seorang kandidat. Macam-macam jasa tim sukses dalam memenangkan calonnya. Dalam banyak hal mungkin jasa para tim sukses yang variatif itu tidak terbalaskan. Sukses seorang kepala daerah merupakan akumulasi dari jasa orang banyak dalam berbagai wujudnya. Namun tim sukses mestinya mampu menghadapi realita soal kemenangan yang tertunda. Hati boleh panas, kecewa boleh ada tetapi laga yang fair dan sportivitas diutamakan. Inilah modal bagi kita dalam memelihara sistem yang demokratis ini. Pilkada merupakan aktivitas rutin. Setiap lima tahun sekali akan ada pertarungan kepala daerah. Akan banyak lagi peredaran spanduk, baliho dan spanduk. Akan bermunculan pula para tim sukses yang mungkin saling bergesekan satu sama lain. Akan lebih banyak pihak yang kalah ketimbang yang menang. Malah sangat mungkin terjadi sengketa hukum setelah Pilkada. Ada yang merasa dicurangi. Apapun hasil akhirnya, pihak yang kalah tetap putra/putri terbaik daerah itu. Kepala daerah terpilih tetap membutuhkan kontribusi mantan rivalnya. Itu sebabnya harus terjadi rekonsiliasi setelah memilih. |